Kini Tujuan Pendidikan Kita adalah Hanya untuk…

Mari berpikir sederhana dan ngawur. Menyimak pemberitaan dari edukasi.kompas.com bahwa ada kemungkinan (tapi sepertinya memang akan begitu) kisi-kisi soal ujian nasional (UN) yang sekarang akan dipakai hingga tiga tahun ke depan.  Tahun depan kurikulum akan diubah. Kalau disimak pada gambaran kasar draft kurikulum 2013 untuk SMA memang tidak mengalami perubahan berarti, yang berubah hanyalah pola pengajarannya saja. Berbeda untuk kurikulum sd dan smp mengalami perubahan yang cukup signifikan.

Untuk jenjang pendidikan sma jika itu terjadi maka ada kemungkinan  semua guru dan siswa hanya akan fokus bagaimana agar lulus UN. Dengan modal acuan kisi-kisi itu, sedikit banyak mengurangi kedalaman konten kurikulum itu sendiri. Model pembelajaran pun hanya latihan dan latihan soal saja, layaknya pengajaran di bimbingan belajar. Siapapun tahu jika hanya UN jadi patokan meskipun ada melibatkan penilaian rapor dan lain-lain guru dan siswa bisa saja memilih langkah aman, meningkatkan kemampuan mengerjakan latihan soal-soal dengan sedikit berteori tapi memaksimalkan “logika”.

Untuk pelajaran kimia saja, saya telah membuat perbandingan kisi-kisi dari tahun 2011, 2012, dan 2013. Benar memang tidak jauh berbeda. Apalagi sampai ada pernyataan kisi-kisi yang ada sekarang akan digunakan hingga 3 tahun kemudian. Menyimak dan membandingkan soal-soal pun variasinya yah begitu-begitu saja. Semua ada 25 indikator. Andai itu kita buat rata-rata selama 5 semester, artinya sama dengan 5 indikator itu kita harus “puaskan” tiap semester. Semester akhir bisa digunakan untuk melahap soal-soal persiapan, yang sering diistilahkan dengan try out. Inilah kemungkinan yang terjadi jika kisi-kisi soal ujian nasional diberitahukan.

Kita bisa bandingkan dahulu untuk menghadapi soal ujian akhir, baik guru dan siswa semua belajar sungguh-sungguh karena tidak tahu persis bagian mana yang akan muncul dalam ujian akhir itu. Ketika itu pula ujian akhir bukan jadi penentu kelulusan dengan prosentase yang besar seperti saat ini. Nilai jelek-pun bisa saja diluluskan. Toh kini sudah terbukti mereka yang memiliki nilai tidak terlalu bagus bisa bersaing ketika memasuki dunia kerja, bahkan ada yang nilainya rata-ratanya tidak sampai 6 karena beruntung diterima di kampus besar pada jurusan mentereng melalui jalur penjaringan bibit unggul daerah (di era 1990-an) kini mereka bisa sukses di tempat kerja. Tentu saja itu juga tidak bisa dijadikan kesimpulan yang bersifat menggeneralisir keadaan. Tetapi ujian nasional tidak jadi momok bagi masyarakat, tidak pula jadi penentu segalanya. Jenjang berikutnyalah atau dunia kerja yang akan melakukan uji kelayakan dari para lulusan itu.

Pendangkalan tujuan pendidikan seperti pada judul tulisan itu tidak bisa dipungkiri akan dijadikan “tujuan ghaib dan pedoman ghaib” bagi siapapun yang ingin meng-gol-kan siswa sebanyak-banyaknya. Sebab fenomena “keghaiban” itu sudah terjadi beberapa tahun terakhir semenjak UN dijadikan momok oleh kebanyakan kalangan dunia persekolahan. Bagaimana tidak jika sistem, proses tidak berjalan dengan baik dengan strata atau keadaan yang sangat heterogen, namun strativikasi pendidikan disamakan hanya dengan patokan nilai harus sekian baru dapat lulus. Itu sebuah keanehan yang dibuat pemerintah dalam hal ini kementerian pendidikan.

Meskipun UN sudah diputuskan tidak patut diteruskan sebelum pemerintah memenuhi berbagai standar yang dibuat maka UN harus dihentikan. Nyatanya pemerintah tutup telinga, tutup mata, UN jalan terus. Bahkan dalam kesempatan tertentu kisi-kisi yang ada sekarang akan dipakai 3 tahun lagi. Artinya UN tetap akan diselenggarakan. Arogansi yang tak mendengar arus bawah, masyarakat pendidikan di negeri ini. Sekali lagi ini adalah ironi yang dibuat pemerintah dengan dalih apapun.

Apakah yang bisa dilakukan guru dengan tugas mulyanya? Haruskah mengikuti irama pemerintah yang secara tidak langsung mengerdilkan pendidikan hanya sebatas lulus saja?

Urip Kalteng