Mengapa Sulit Cari Referensi Berbahasa Indonesia?!

Menulis di blog tidak mesti banyak membaca. Kecuali kita akan membuat tulisan ilmiah maka mesti banyak baca. Lancarkanlah tangan anda menyalurkan pikiran menjadi deretan kata yang bermakna. Yakinlah kelak akan memberikan banyak manfaat.

Orang yang sudah lancar menyalurkan pikirannya lewat tulisan maka dengan sendirinya akan lancar bertutur secara nalar dan biasanya tutur seperti itu akan menghasilkan sesuatu yang dapat menambah deretan angka di rekeningnya di bank (jangan mikirkan ini terus yah nanti jadi gak ikhlas berbagi) Mau?!

Kalau mau menambah angka rekening kita di bank dengan hanya “menjual” suara yang tidak merdu yuk mulai belajar menuangkan apa yang kita pikirkan (yang bermanfaat) melalui tulisan. Yuk isi blog kita, semoga kita bisa “menjual diri”. Banyak loh orang sukses dengan cara seperti ini, tapi belum termasuk saya. Makanya mari menulis terus 🙂

Benar bahwa dengan menulis, misalnya dengan kekhususan yang kita bisa maka dengan sendirinya akan menjadi trade merk diri kita jadi personal branding yang gratis.

Aturan harus banyak membaca tidak bisa kita pungkiri sangat diperlukan manakala kita akan mengulas sesuatu dan kita bisa mengambil sisi lain atau mengkritisi tulisan pihak lain. Bahkan kalau kita akan menulis tutorial suatu hal maka kita harus eksplor lebih jauh dan mempraktikkan dengan berbagai cara. Ini salah satu jenis tulisan yang biasa ada di blog seperti juga blog saya ini.

Blog yang berbahasa Inggris ternyata banyak juga di buat oleh para pakar atau guru bidang tertentu dengan isi yang sangat spesial (khusus) terkait kepakarannya. Bagaimana dengan di negeri kita?

Guru menulis saya Ersis Warmansayaah Abbas, sering mengkritik banyak orang yang perpendidikan bahkan sampai S3 pun banyak yang tidak bisa menulis. Mereka hanya menulis (terpaksa) kalau akan menulis laporan penelitian saja yang semua itu ujung-ujungnya akan mendapatkan imbalan uang. Atau kalau tidak hanya menulis modul kuliahnya saja. Tridarma perguruan tingginya tidak dijalankan dengan benar.

Saya yakini mereka yang berpendidikan tinggi, lebih-lebih guru senior atau dosen tentu memiliki keahlian yang luar biasa dengan pengalamannya masing-masing tapi mengapa enggan “sedikit” berbagi?! Berbagi yang saya maksud adalah melalui tulisan. Haruskah memberikan ilmu bermanfaat tentang apa yang kita bisa selalu berharap dapat imbalan uang atau kredit point?! Saudara yang membaca tulisan ini pasti tdk termasuk sbg orang yang saya maksud. Bandingkan dengan mereka di luar sana.

Mereka yang perpendidikan tinggi kurang apa coba, bahasa Inggris mereka bisa dan mengerti, otomatis sumber ilmunya lebih banyak. Orang indonesia (termasuk saya) yang tidak mengerti bahasa asing dengan baik begitu mencari referensi tertentu kesulitan. Beruntung ada juru terjemah semacam google translator. Bukankah orang pinter di negeri ini tidak sedikit?! Kemana mereka? Oh ternyata mereka tidak menuliskan tentang kehebatannya!

Bagi saya yang sedikit mengerti bahasa Inggris, meskipun blepotan (karena memang hasil tes TOEFL/TOEIC payah), masih memiliki kesempatan berbagi yang luas, karena tidak banyak orang pinter yang mau menulis, inilah keuntungan bagi saya yang tidak masuk kelompok orang hebat/pintar. Terimakasih atas ke-engganan orang pandai yang tidak mau menulis.

Haruskah menulis selalu dihargai dengan sederet angka kredit (kredit point) untuk menjadikan seseorang berpangkat IV-e atau profesor. Kalau demikian hanya kalangan terntentu saja yang bisa menikmati, sementara masayaarakat tidak banyak memperoleh manfaat dari ilmu yang kita geluti. Ini dia perlu beramal lewat ilmu, sehingga tidak hanya diri sendiri yang beroleh manfaat.

Menulis di blog tentu tidak harus sesuai dengan latar belakang pendidikan kita, justru disitulah kita akan lebih banyak lagi belajar. Namun sesekali bidang kita perlu untuk ditulis lebih-lebih jika hal itu sangat bermanfaat bagi orang awam. Pingin contoh lihat blognya seorang dosen ITB yang saya idolakan ini : http://rahard.wordpress.com/.

Soal tulis-menulis, saya teringat ada mahasiswa S1 yang mengeluhkan soal draft skripsinya di coretin sana sini oleh pembimbingnya. Setelah saya lihat, e… yang dicoretin hanya soal ejaan kata dan tanda baca saja, semula saya kira soal konten tulisan di skripsi itu. Saya jadi curiga jangan-jangan sang pembimbing enggan berpikir, sebab ia sendiri “jarang menulis” kecuali terpaksa menulis laporan penelitian yang sudah terlanjur dapat “kontrak”.

Kalau membimbing mahasiswa dalam menulis skripsi cuma dicoretin karena salah ejaan bukan membimbing mahasiswa lagi namanya, serahkan saja sama proofing tool Bahasa Indonesia untuk menyelesaikannya. Itu disebabkan mahasiswa dan dosen pembimbingnya belum tahu teknologi, alias kuper/gaptek. Ngomong-ngomong masih banyak yah dosen/mahasiswa yang gaktek?!

Yuk belajar terus tentang teknologi (TIK) dan jangan lupa menuliskan pengalaman kecil tetang proses belajar TIK itu.

Semoga bermanfaat!

3 responses

  1. persamaan pak budi rahardjo dengan pak urip adalah keduanya bener-bener “serem”. he..

  2. Kalau saya sih seringnya nulis remeh temeh. Kalau yg akademis tentu jarang, atau malah ngga ada, hehehe…
    Selamat menulis, Pak.

    Salam

    1. Yah sama enak yg remeh temeh gitu, asal aja nulisnya, seperti kebanyakan tulisan di blog ini 🙂 Terimakasih.